Perjalanan Subang
Persiapkanlah Ongkosnya!!!
Pukul sudah
menunjukan 16.00 WIB, sementara hanya kurang dari 62 menit lagi kereta akan
berangkat. Kereta Gaya Baru Malam asal Surabaya dengan tujuan akhir stasion
Pasar Senen Jakarta aku pilih sebagai transportasi yang akan menghantarkanku
pulang ke subang, meski tujuan akhirnya Jakarta, tapi aku akan turun di stasion
Pagadenbaru, Subang. Hari itu, waktu semakin menyempit, sedang aku masih
disibukan dengan sesuatu yang seharusnya tidak menyibukanku. Tiket kereta sudah
aku dapatkan sejak 5 hari sebelum hari itu, yang aku beli di Indomaret seharga
Rp. 130.000,00.- dan aku mendapat bonus sebuah minum kaleng yang habis ketika
itu juga. Kereta berangkat pukul 15.00 WIB dan tiba di Subang pukul 24.55. Tiket
yang aku beli di Indomaret hanya berbentuk struk pembelian, artinya satu jam
sebelum keberangkatan kereta, harus di tukar dengan tiket yang asli di stasion.
Tepatnya di stasion Lempuyangan dimana aku akan berangkat dari stasion
tersebut. Sebenarnya aku berharap bisa menukarkan tiket kepada petugas wanita yang
cantik di stasion. Tetapi, nyatanya aku harus mencetak tiket menggunakan mesin
cetak mandiri yang aku yakin itu bukan milik pihak Kampus UIN-Suka.
Sampai di
stasion Lempuyangan aku di antar oleh Mila, Mila adalah milaku yang Milatun
Nuril A’yuni. Dia adalah orangnya yang sudah membuatku menjadi begini, membuat
aku selalu mencintainya. Dia menyenangkan, bagiku, jika bagimu tidak, aku tidak
peduli!!! Dia yang selalu menguasai ruang fikirku, Ah, Tuhan, aku sangat sayang
padanya. Aku yakin engkau lebih berkehendak dari pada Mila, jadi, dia bisa apa
jika Engkau inginnya aku dengannya.
Setelah tiket
yang original sound track sudah aku dapatkan, sementara saat ini masih tersisa
waktu kurang lebih 31 menit lagi dari jadwal pemberangkatan. Aku dan Mila
menghabiskan waktu yang singkat tersebut dengan mengobrol dan saling melepas
rindu. Eh, emang mila rindu juga? O’ya , aku anggap saja dia juga merindu. Mila
rindu atau pun tidak, aku tidak peduli, rindu adalah urusan peribadi.
Tidak terasa,
waktunya sudah tiba, kereta akan segera di berangkatkan. Aku segera masuk dan
meninggalkan Mila yang terlihat di tersenyum dengan sangat indah. Iyah, Mila
memang manis ketika senyum, bahkan ketika diam pun dia tetap terlihat cantik,
bagiku.
Sekarang aku
sudah berada di dalam kereta, aku mendapat nomer kursi 4A pada gerbong 3, dan
ternyata aku duduk bersebelahan dengan lelaki paruh baya yang dapat kubaca dari
raut wajahnya, seolah dia sedang sangat rindu seseorang. Atau jangan-jangan dia
rindu juga pada mila… Ah, tidak…tidak… dia tidak boleh rindu pada Mila, meski
rindu adalah hak segala bangsa. Tapi, mila adalah Milaku, si bapak ini tidak
boleh merindukan Milaku. Mungkin saja itu istrinya yang juga bernama Mila. Ah,
entahlah, yang penting dia tidak boleh rindu pada Milaku yang Milatun Nuril
A’yuni. Heuheuheu…
Kereta sudah
mulai bergerak meninggalkan jogja, aku pun berangkat bersama kereta itu dan
seluruh penumpang di dalamnya, termasuk si Bapak yang sedang meindu ini.
Sekarang dia sedang asik mendengarkan musik dari Handphone peribadinya dan aku
pun berpura-pura tidak sedang ikut mendengarkan musik yang dia putar. Eh,
anjing! Keren sekali si Bapak ini, ternyata dia sedang mendengarkan lagu
Undeafetead. Itu adalah single terbaru Burgerkill yang di rilis Februari 2015 kemarin.
Ah, gila… yang benar saja, lagu yang sangat aku suka ini mah. “Si bapak keren
euy”, ujarku dalam hati. Kereta terus melaju
kencang dengan Rell sebagai lintasan wajibnya. Aku tidak tahu saat itu
perjalan sudah sampai mana, di luar gelap, hanya hitam yang terlihat, sambil
ngantuk sampai tertidur.
Kereta sedang
berhenti pada salah satu stasion yang aku sudah lupa namanya dan aku terbangun dari
tidurku. Saat itu sudah pukul 23.49 WIB, itu artinya tidak lama lagi kereta
akan sampai di Stasion Pagadenbaru, Subang dan aku harus turun, jika tidak?
Atuh aku bisa terbawa kereta sampai stasion akhir di Jakarta. Heuuu, belegug!
Ketika kereta
sudah sampai di Stasion Pagadenbaru, aku turun bersama beberapa penumpang yang juga
turun disana dengan segala materi yang di bawa masing-masing dan punya tujuan
masing-masing. Tiba di Stasion, ada beberapa tukang ojek yang menawarkan
jasanya, tapi aku tidak pedulikan itu. Sekarang aku sudah sampai di Subang,
sebuah Kota kecil yang selalu besar di hati para penduduknya termasuk aku. Tapi,
malam itu suasana sangat sepi, o’yaa… aku lupa, ini kan di Subang, setiap malam
memang selalu sepi, tidak warung yang masih buka, malam itu padahal aku sedang
sangat ingin kopi. Entah sudah berapa banyak pesan yagn aku kirim kepada
temanku yang tinggal di daerah Pagaden, tapi, ini sudah malam, mereka pasti
sudah tidur. Dan akhirnya mau tidak mau aku harus menginap di Stasion bersama
nyamuk-nyamuk dan petugas keamanan itu yang sedang sibuk dengan urusannya
sendiri.
Hari sudah
subuh, aku bangun dan berjalan menuju mushola Stasion untuk melaksanakan sholat
Subuh. Usai melaksanakan sholat subuh, aku pergi meninggalkan Stasion, berjalan
hingga dan langkahku berhenti pada sebuah warung kopi yang kebetulan ada
gorengannya juga, asekkk… Setelah kopi beserta gorengannya sudah aku habiskan
dan hampir lupa bayar, heuheu… Sekarang sisa uang yang aku pegang hanya
Rp.4000,00.- . Untuk naik angkot saja, tentu ini tidak akan cukup, aku harus
mencari mesin atm dulu kalo begini. Hari masih pagi, aku putuskan berjalan kaki
sambil mencari mesin ATM BRI yang nominalnya Rp.50.000,00.- karena uangku yang
ada di ATM memang hanya bisa di ambil lima puluh ribu saja, aduh lagi-lagi
saldo limited.
Sekian KM jarak
sudah aku tempuh dengan berjalan kaki, tapi, tak kunjung aku temukan mesin ATM
BRI yang aku cari. Saat itu sudah hampir pukul 07.00 WIB. Anak-anak sekolah
berlalu lalang pergi ke sekolahnya masing-masing, para buruh pabrik juga
berslisiban berkangkat ke pabriknya masing-masing, ibu-ibu pergi ke pasar,
berbelanja keperluan hariannya, tapi, orang gila di depan toko yang sudah tutup
itu terlihat bersama tumpukan sampah di
atas kepalanya. Dia memang orang gila, tapi sampah saja dia simpan di atas
kepala, lalu kenapa masih banyak orang waras yang membuang sampah sembarangan.
Heuuu, sebenarnya siapa yang gila? Ah,
sudahlah… aku masih harus terus berjalan menyusuri Jl. Pagaden-Subang, berharap
lekas menemukan mesin ATM BRI. Badanku mulai terasa pegal, dahaga mengisi
kerongkonganku, aku istirahat sejenak, termangu memaku, duduk sambil menyalakan
batang rokok yang masih aku punya. Seketika itu ada seseorang yang berhenti
dengan speda motornya, seraya bertanya “Mau kemana, A ?” (Aa itu panggilan
kepada anak laki-laki muda kalo disana, kalo di jogja mah Mas) “Oh, ini mau ke
kota, kang.” Jawabku. “Hayu atuh, ngojek” ujar si akang itu. “Ah, enggak kang,
mau jalan aja, soalnya buru-buru nih”. Jawabku kembali. “Yaudah, hayu ikut aja,
kebelutan saya juga mau ke Kota”. “Serius, kang”? Tanyaku memastikan. “iyah,
hayu” ujar si akang itu. “Okre, kalo begitu”. Akhirnya aku sampai ke Kota di
antar si Akang Budi, aku tidak tahu namanya, belum sempat kenalan. Tapi aku
anggap saja namanya Budi, karena yang aku tahu setiap Budi pasti mulia. Yesss,
perjalanan yang keren, Terima kasih, Kang Budi atas apapun!!!
“Ketuhauilah olehmu, barang siapa yang tahu
akan jauhnya perjalannya, maka persiapkanlah ongkosnya. Bisi ripuh”. (Robusta:
69)
love him
ReplyDelete